“Hey, kenapa kau melihatku seperti itu?”
‘Deg’… Aku langsung menundukkan pandanganku dan menatap ujung sepatuku. Tatapan kagumku ternyata telah terbaca olehnya.
“Ah,
tidak apa-apa, hanya saja senyummu begitu indah, sungguh.” Aku menjawab
dengan lirih lalu terdiam kembali. Sudah seminggu ini aku selalu
menghampirinya. Sekedar menatapnya di atas balkon rumah atau
mengamatinya sembari berjalan pelan itu sudah cukup menghibur laraku.
Mungkin ia merasa risih dengan tatapanku yang aneh kepadanya. Sebenarnya
banyak hal yang ingin aku sampaikan. Mulai dari kerinduan hingga
kegundahan yang tak berkesudahan. Tapi bagaimana mungkin aku bisa
mengungkapkan itu semua kepadanya? Kegundahan kini menari-nari di
kepalaku. Ada kata-kata yang terbenam dalam dasar hati namun sulit untuk
terbit lagi. Ya sulit. Karena aku merasa, menyampaikan segala yang
kurasa kepadanya sama saja dengan menyesali hal yang sudah terlewatkan
atau mungkin sudah PERGI.
“Ada yang ingin kau sampaikan padaku?”
Aku
terkejut bukan kepalang saat ia bertanya, entah mengapa seolah ia mampu
membaca pikiranku. Aku menghela nafas panjang dan mencoba merangkai
kata. Kata-kata yang terbenam di dasar hati itu bergemuruh kuat dan
memaksa agar terbit lagi!
“Mau kah kau sampaikan salam rinduku kepada Ramadhan?” ujar ku sambil tetap menatap ujung sepatuku-lagi.
“Tentu… hanya salam rindu?” Wajahnya yang ramah seketika berubah menjadi dingin.
“Hanya itu? Tidakkah kau ingin bertemu
dengannya lagi di tahun yang akan datang?” Aku terhenyak. Mataku mulai
berkaca-kaca saat mendengar pertanyaannya.
“Tentu,
aku ingin bertemu lagi dengannya, bercengkrama lagi seperti saat ia
datang.” Tak terasa rinai dari mataku membasahi pipi. Perasaan
bersalahku semakin dalam. Bagaimana tidak? Saat Ramadhan datang, aku
benar-benar tidak menyambutnya dengan baik. Bahkan aku hanya sibuk
sendiri dengan urusan duniawi hingga Ramadhan terlalu lama menunggu di
pelataran. Bulan Ramadhan datang sebagai bulan Al Quran, bulan kebaikan,
bulan pengampunan. Lantas tak banyak yang ku lakukan untuknya. Aku
sungguh tidak memberikan segala yang terbaik untuknya. Aku lalai dalam
menyambutnya, hingga akhirnya ia pulang dengan rasa kecewa di hatinya.
Kini ia sungguh pergi, tapi aku berharap bisa bertemu dengannya lagi
tanpa membuatnya merasa perih.
“Aku
akan sampaikan salam mu kepada sahabatku, Ramadhan. Asalkan kau hapus
air matamu dan berjanji untuk menghidupkan semangatnya di setiap bulan,
tunggulah ia dengan ke istiqomahan mu hingga Rabb mu mempertemukan
engkau kembali dengannya. Apakah kau bisa memegang janji ini?”
“In shaa Allah, aku akan tetap menghidupkan semangatnya di setiap bulan… In shaa Allah… aku akan berusaha. Terimakasih Syawal.”
“Berterimakasihlah kepada Rabbmu.”
“Alhamdullilah hi robbil alamin. Segala puji hanya milik Allah.”
Lalu
aku kembali menatap Syawal yang kini tersenyum ramah kepadaku. Oh,
andai aku bisa memeluknya. Tapi tanganku tak sampai menggapainya. Malam
itu aku tersenyum di atas balkon rumahku, masih bersamanya. Menatap
lengkungan indah di wajahnya. Menggenggam janji bersamanya.
0 komentar:
Posting Komentar