Latest Article Get our latest posts by subscribing this site

Mus’ab bin Umair – Si Tampan nan Shalih

 
Semua penduduk Makkah pasti mengenalnya. Dia berasal dari keluarga yang kaya raya. Pakaiannya bagus, terbuat dari bahan yang halus dan mahal. Rambutnya tersisir rapi. Tubuhnya harum. Langkah kakinya gagah dan tegap. Cakap bicaranya, baik perangainya. Semua orang menyukainya. Dialah Mus’ab bin Umair.
Suatu hari, tersiar kabar adanya seorang bernama Muhammad, yang mengaku nabi dan membawa ajaran baru. Ajaran yang sangat berbeda dengan keyakinan penduduk Makkah. Mus’ab pun ingin tahu, seperti apa ajaran yang dibawa Nabi Muhammad.

Hari itu, Mus’ab bin Umair keluar dari rumahnya. Dia ingin menemui Nabi Muhammad. Dia mendapatkan kabar, Nabi Muhammad ada di rumah Arqam bin Abil Arqam, di bukit Shafa. Mus’ab pun segera menuju ke sana.

Sesampai di rumah Arqam, ia melihat ada seseorang yang sedang membacakan sesuatu. Orang itu adalah Nabi Muhammad. Di depannya ada sekelompok orang yang mendengarkan. Bacaannya sangat merdu dan indah. Mus’ab terpesona, hingga dia meneteskan air mata. Dia pun masuk Islam.

Sejak itu, Mus’ab selalu datang ke rumah Arqam. Dia mengikuti pengajian Nabi Muhammad. Mus’ab melakukannya dengan diam-diam. Dia takut diketahui oleh ibunya. Ibunya pasti tidak mengizinkanya mengikuti ajaran Muhammad.

Hingga suatu ketika, keluarga Mus’ab mengetahui keimanannya. Mus’ab pun dikurung di dalam rumahnya. Namun, Mus’ab bisa kabur. Dia lalu ikut hijrah menuju Habasyah.

Mus’ab telah berubah. Dulu dia adalah pemuda gagah dan tampan yang selalu berpakaian mewah. Sekarang, Mus’ab adalah seorang pemuda yang tak memiliki apa-apa, selain iman di hatinya. Tubuhnya kurus. Bajunya jelek, penuh tambalan.

Para sahabat nabi sedih melihat diri Mus’ab. Namun Rasululah tersenyum dan berkata , “Dahulu aku lihat seorang Mush’ab yang tak ada duanya dalam kemewahan dan kesenangan, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Meskipun kini miskin, Mus’ab bin Umair tak kehilangan kecerdasan dan kepintarannya. Ketika orang-orang Madinah banyak yang beriman, Rasulullah mengutus Mus’ab untuk berdakwah di sana.

Dengan rendah hari, Mus’ab menolak karena banyak orang yang lebih tua dan lebih pantas mengemban amanah berat ini. Namun Rasulullah menenangkan hati Mus’ab. Mus’ab pun berangkat ke Madinah untuk mengajarkan Islam di sana.

Ketika perintah Hijrah turun, Mus’aib pun ikut pindah ke Madinah. Mus’aib juga berjuang bersama Rasulullah dalam perang Badar dan perang Uhud. Dalam perang Uhud inilah, Mus’aib gugur sebagai syuhada.

Saat itu, Mus’aib bertempur sambil membawa bendera Islam. Tiba-tiba, datanglah seorang Quraisy bernama Ibnu Qumaiah. Dia langsung menebas tangan kanan Mus’aib. Bendera yang dipegangnya pun jatuh. Lalu, dengan cepat Mus’aib mengambil bendera dengan tangan kirinya. Musuh pun menebas tangan kirinya. 

Mus’aib berdiri tanpa lengan. Hingga akhirnya tubuhnya roboh ditembus tombak musuh. Mus’ab gugur.
Usai perang, Rasulullah melihat para syuhada yang gugur. Diantara para syudaha itu, Rasulullah melihat jasad Mus’aib. Beliau pun menangis, dan tangisannya terdengar oleh kaum muslimin.

Inilah Mus’ab bin Umair. Pemuda gagah dan tampan yang rela meninggalkan kekayaannya dan memilih menjadi pengikut Rasulullah. Pemuda shalih dan gagah berani yang rela mengorbankan dirinya demi membela agama Allah dan Rasul-Nya.
http://www.adzkia.net / foto i-net

Menggenggam Janji Syawal

 
“Hey, kenapa kau melihatku seperti itu?”

‘Deg’… Aku langsung menundukkan pandanganku dan menatap ujung sepatuku. Tatapan kagumku ternyata telah terbaca olehnya.

“Ah, tidak apa-apa, hanya saja senyummu begitu indah, sungguh.” Aku menjawab dengan lirih lalu terdiam kembali. Sudah seminggu ini aku selalu menghampirinya. Sekedar menatapnya di atas balkon rumah atau mengamatinya sembari berjalan pelan itu sudah cukup menghibur laraku. Mungkin ia merasa risih dengan tatapanku yang aneh kepadanya. Sebenarnya banyak hal yang ingin aku sampaikan. Mulai dari kerinduan hingga kegundahan yang tak berkesudahan. Tapi bagaimana mungkin aku bisa mengungkapkan itu semua kepadanya? Kegundahan kini menari-nari di kepalaku. Ada kata-kata yang terbenam dalam dasar hati namun sulit untuk terbit lagi. Ya sulit. Karena aku merasa, menyampaikan segala yang kurasa kepadanya sama saja dengan menyesali hal yang sudah terlewatkan atau mungkin sudah PERGI.

“Ada yang ingin kau sampaikan padaku?”

Aku terkejut bukan kepalang saat ia bertanya, entah mengapa seolah ia mampu membaca pikiranku. Aku menghela nafas panjang dan mencoba merangkai kata. Kata-kata yang terbenam di dasar hati itu bergemuruh kuat dan memaksa agar terbit lagi!

“Mau kah kau sampaikan salam rinduku kepada Ramadhan?” ujar ku sambil tetap menatap ujung sepatuku-lagi.

“Tentu… hanya salam rindu?” Wajahnya yang ramah seketika berubah menjadi dingin.

“Dan permohonan maafku.”
 
 “Hanya itu? Tidakkah kau ingin bertemu dengannya lagi di tahun yang akan datang?” Aku terhenyak. Mataku mulai berkaca-kaca saat mendengar pertanyaannya.
“Tentu, aku ingin bertemu lagi dengannya, bercengkrama lagi seperti saat ia datang.” Tak terasa rinai dari mataku membasahi pipi. Perasaan bersalahku semakin dalam. Bagaimana tidak? Saat Ramadhan datang, aku benar-benar tidak menyambutnya dengan baik. Bahkan aku hanya sibuk sendiri dengan urusan duniawi hingga Ramadhan terlalu lama menunggu di pelataran. Bulan Ramadhan datang sebagai bulan Al Quran, bulan kebaikan, bulan pengampunan. Lantas tak banyak yang ku lakukan untuknya. Aku sungguh tidak memberikan segala yang terbaik untuknya. Aku lalai dalam menyambutnya, hingga akhirnya ia pulang dengan rasa kecewa di hatinya. Kini ia sungguh pergi, tapi aku berharap bisa bertemu dengannya lagi tanpa membuatnya merasa perih.

“Aku akan sampaikan salam mu kepada sahabatku, Ramadhan. Asalkan kau hapus air matamu dan berjanji untuk menghidupkan semangatnya di setiap bulan, tunggulah ia dengan ke istiqomahan mu hingga Rabb mu mempertemukan engkau kembali dengannya. Apakah kau bisa memegang janji ini?”

“In shaa Allah, aku akan tetap menghidupkan semangatnya di setiap bulan… In shaa Allah… aku akan berusaha. Terimakasih Syawal.”

“Berterimakasihlah kepada Rabbmu.”

“Alhamdullilah hi robbil alamin. Segala puji hanya milik Allah.”

Lalu aku kembali menatap Syawal yang kini tersenyum ramah kepadaku. Oh, andai aku bisa memeluknya. Tapi tanganku tak sampai menggapainya. Malam itu aku tersenyum di atas balkon rumahku, masih bersamanya. Menatap lengkungan indah di wajahnya. Menggenggam janji bersamanya.

Pemuda Ahli Syurga


Pemuda - Photo  inet
Di salah satu sudut Masjid Nabawi terdapat satu ruang yang kini digunakan sebagai ruang khadimat.
Dahulu di tempat itulah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasalaam senantiasa berkumpul bermusyawarah bersama para Shahabatnya radhiallaahu 'anhum.
Di sana Beliau SAW memberi taushiyyah, bermudzakarah, dan ta'lim.


Suatu ketika, saat Rasulullah SAW memberikan taushiyyahnya, tiba-tiba Beliau SAW berucap,
"Sebentar lagi akan datang seorang pemuda ahli surga."
Para Shahabat r.hum pun saling bertatapan, di sana ada Abu Bakar Ash Shiddiqradhiallaahu 'anhu, Utsman bin Affanradhiallaahu 'anhu, Umar bin Khattabradhiallaahu 'anhu, dan beberapa Shahabat lainnya.


Tak lama kemudian, datanglah seorang pemuda yang sederhana.
Pakaiannya sederhana, penampilannya sederhana, wajahnya masih basah dengan air wudhu.
Di tangan kirinya menenteng sandalnya yang sederhana pula.


Di kesempatan lain, ketika Rasulullah SAW berkumpul dengan para Shahabatnya, Beliau SAW pun berucap,
"Sebentar lagi kalian akan melihat seorang pemuda ahli surga."
Dan pemuda sederhana itu datang lagi, dengan keadaan yang masih tetap sama, sederhana.
Para Shahabat yang berkumpul pun terheran-heran, siapa dengan pemuda sederhana itu?


Bahkan hingga ketiga kalinya Rasulullah SAW mengatakan hal yang serupa.
Bahwa pemuda sederhana itu adalah seorang ahli surga.
Seorang Shahabat, Mu'adz bin Jabbalradhiallaahu 'anhupun merasa penasaran.
Amalan apa yang dimilikinya sampai-sampai Rasul menyebutnya pemuda ahli surga?


Maka Mu'adzradhiallaahu'anhu berusaha mencari tahu. Ia berdalih sedang berselisih dengan ayahnya dan meminta izin untuk menginap beberapa malam di kediaman si pemuda tersebut. Si pemuda pun mengizinkan. Dan mulai saat itu Mu'adz mengamati setiap amalan pemuda tersebut.


Malam pertama, ketika Mu'adz bangun untuk tahajud, pemuda tersebut masih terlelap hingga datang waktu shubuh.
Ba'da shubuh, mereka bertilawah. Diamatinya bacaan pemuda tersebut yang masih terbata-bata, dan tidak begitu fasih.
Ketika masuk waktu dhuha, Mu'adz bergegas menunaikan shalat dhuha, sementara pemuda itu tidak.


Keesokkannya, Mu'adz kembali mengamati amalan pemuda tersebut.
Malam tanpa tahajjud, bacaan tilawah terbata-bata dan tidak begitu fasih, serta di pagi harinya tidak shalat dhuha.


Begitu pun di hari ketiga, amalan pemuda itu masih tetap sama.
Bahkan di hari itu Mu'adz shaum sunnah, sedangkan pemuda itu tidak shaum sunnah.

Mu'adz pun semakin heran dengan ucapan Rasulullah SAW.
Tidak ada yang istimewa dari amalan pemuda itu,
tetapi Beliau SAW menyebutnya sebagai pemuda ahli surga.
Hingga Mu'adz pun langsung mengungkapkan keheranannya pada pemuda itu.


"Wahai Saudaraku, sesungguhnya Rasulullah SAW menyebut-nyebut engkau sebagai pemuda ahli surga.
Tetapi setelah aku amati, tidak ada amalan istimewa yang engkau amalkan.
Engkau tidak tahajjud, bacaanmu pun tidak begitu fasih, pagi hari pun kau lalui tanpa shalat dhuha, bahkan shaum sunnah pun tidak.
Lalu amal apa yang engkau miliki sehingga Rasul SAW menyebutmu sebagai ahli surga?"


"Saudaraku, aku memang belum mampu tahajjud.
Bacaanku pun tidak fasih. Aku juga belum mampu shalat dhuha.
Dan aku pun belum mampu untuk shaum sunnah.
Tetapi ketahuilah, sudah beberapa minggu ini aku berusaha untuk menjaga tiga amalan yang baru mampu aku amalkan."


"Amalan apakah itu?"


"Pertama, aku berusaha untuk tidak menyakiti orang lain.
Sekecil apapun, aku berusaha untuk tidak menyinggung perasaan orang lain.
Baik itu kepada ibu bapakku, istri dan anak-anakku, kerabatku, tetanggaku, dan semua orang yang hidup di sekelilingku.
Aku tak ingin mereka tersakiti atau bahkan tersinggung oleh ucapan dan perbuatanku."


"Subhanallah...kemudian apa?"


"Yang kedua, aku berusaha untuk tidak marah dan memaafkan.
Karena yang aku tahu bahwa Rasullullah tidak suka marah dan mudah memaafkan."


"Subhanallah...lalu kemudian?"


"Dan yang terakhir, aku berusaha untuk menjaga tali shilaturrahim.
Menjalin hubungan baik dengan siapapun.
Dan menyambungkan kembali tali shilaturrahim yang terputus."


"Demi Allah...engkau benar-benar ahli surga.
Ketiga amalan yang engkau sebut itulah amalan yang paling sulit aku amalkan."


Wallahu a'lam bi shawwab.

Semoga kita bisa mengambil hikmahnya.


"Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (Agama) Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian....." (QS: Muhammad:7)
 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Zona Pelajar Smart - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger