Di kampung miskin di kota Ghazzah (orang Barat menyebutnya Gaza ) di bumi
Palestina, pada th. 150 H (bertepatan dengan th. 694 M) lahirlah seorang bayi lelaki
dari pasangan suami istri yang berbahagia, Idris bin Abbas Asy-Syafi`ie dengan
seorang wanita dari suku Azad. Bayi lelaki keturunan Quraisy ini akhirnya
dinamai Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie . Demikian nama lengkapnya sang bayi
itu. Namun kebahagiaan keluarga miskin ini dengan kelahiran bayi tersebut
tidaklah berlangsung lama. Karena beberapa saat setelah kelahiran itu,
terjadilah peristiwa menyedihkan, yaitu ayah sang bayi meninggal dunia dalam
usia yang masih muda. Bayi lelaki yang rupawan itu pun akhirnya hidup sebagai
anak yatim.
Sang ibu sangat menyayangi bayinya, sehingga anak yatim Quraisy itu tumbuh
sebagai bayi yang sehat. Maka ketika ia telah berusia dua tahun, dibawalah oleh
ibunya ke Makkah untuk tinggal di tengah keluarga ayahnya di kampung Bani
Mutthalib. Karena anak yatim ini, dari sisi nasab ayahnya, berasal dari
keturunan seorang Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam yang
bernama Syafi’ bin As-Sa’ib. Dan As-Sa’ib ayahnya Syafi’, sempat tertawan dalam
perang Badr sebagai seorang musyrik kemudian As-Sa’ib menebus dirinya dengan
uang jaminan untuk mendapatkan status pembebasan dari tawanan Muslimin. Dan
setelah dia dibebaskan, iapun masuk Islam di tangan Rasulullah shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam .
Maka nasab bayi yatim ini secara lengkap adalah sebagai berikut:
Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid
bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdi Manaf bin Qushai bin Kilab
bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin
Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin
Adnan.
Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris
Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad
shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi
Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , bernama Syifa’, dinikahi oleh
Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama As-Sa’ib, ayahnya
Syafi’. Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim
tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris
Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan
Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim,
adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani
Mutthalib, maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam bersabda:
“Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib)
berasal dari satu nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua
tangan beliau.” (HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 –
66).
Di lingkungan Bani Al-Mutthalib, dia tumbuh menjadi anak lelaki yang penuh
vitalitas. Di usia kanak-kanaknya, dia sibuk dengan latihan memanah sehingga di
kalangan teman sebayanya, dia amat jitu memanah. Bahkan dari sepuluh anak panah
yang dilemparkannya, sepuluh yang kena sasaran, sehingga dia terkenal sebagai
anak muda yang ahli memanah.
Demikian terus kesibukannya dalam panah memanah sehingga ada seorang ahli
kedokteran medis waktu itu yang menasehatinya. Dokter itu menyatakan kepadanya:
“Bila engkau terus menerus demikian, maka sangat dikuatirkan akan terkena
penyakit luka pada paru-parumu karena engkau terlalu banyak berdiri di bawah
panas terik mata hari.” Maka mulailah anak yatim ini mengurangi kegiatan panah
memanah dan mengisi waktu dengan belajar bahasa Arab dan menekuni bait-bait
sya’ir Arab sehingga dalam sekejab, anak muda dari Quraisy ini menjadi tokoh
dalam bahasa Arab dan sya’irnya dalam usia kanak-kanak. Di samping itu dia juga
menghafal Al-Qur’an, sehingga pada usia tujuh tahun telah menghafal di luar
kepala Al-Qur’an keseluruhannya.
Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya,
dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan
sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di
Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai
mufti Makkah.
Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga
belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga
menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.
Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki,
Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia
pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk
di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.
Ia pun demi kehausan ilmu, akhirnya berangkat dari Makkah menuju Al-Madinah
An Nabawiyah guna belajar di halaqah Imam Malik bin Anas di sana. Di majelis
beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang
kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam Malik
amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan sangat
mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah.
Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya
yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin
Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih
lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu
majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat
terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan:
“Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab
Al-Muwattha’ .” Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik,
kecuali mesti bertambah pemahamanku.”
Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang
paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin
Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari
para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin
Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Beliau banyak pula
menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau
yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits,
memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk
beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika
pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`ie, khususnya
di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi
Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.
Ketika Muhammad bin Idris As-Syafi’i Al-Mutthalibi Al-Qurasyi telah berusia
dua puluh tahun, dia sudah memiliki kedudukan yang tinggi di kalangan Ulama’ di
jamannya dalam berfatwa dan berbagai ilmu yang berkisar pada Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Tetapi beliau tidak mau berpuas diri dengan ilmu yang dicapainya.
Maka beliaupun berangkat menuju negeri Yaman demi menyerap ilmu dari para
Ulama’nya.
Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti:
Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya.
Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di
kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli
fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan
Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.
Sejak di kota Baghdad, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie mulai dikerumuni
para muridnya dan mulai menulis berbagai keterangan agama. Juga beliau mulai membantah
beberapa keterangan para Imam ahli fiqih, dalam rangka mengikuti sunnah Nabi
Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Kitab fiqih dan Ushul Fiqih
pun mulai ditulisnya. Popularitas beliau di dunia Islam yang semakin luas
menyebabkan banyak orang semakin kagum dengan ilmunya sehingga orang pun
berbondong-bondong mendatangi majelis ilmu beliau untuk menimba ilmu.
Tersebutlah tokoh-tokoh ilmu agama ini yang mendatangi majelis beliau untuk
menimba ilmu padanya seperti Abu Bakr Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidi (beliau
ini adalah salah seorang guru Al-Imam Al-Bukhari), Abu Ubaid Al-Qasim bin
Sallam, Ahmad bin Hanbal (yang kemudian terkenal dengan nama Imam Hanbali),
Sulaiman bin Dawud Al-Hasyimi, Abu Ya’qub Yusuf Al-Buaithi, Abu Tsaur Ibrahim
bin Khalid Al-Kalbi, Harmalah bin Yahya, Musa bin Abil Jarud Al-Makki, Abdul
Aziz bin Yahya Al-Kinani Al-Makki (pengarang kitab Al-Haidah ), Husain bin Ali
Al-Karabisi (beliau ini sempat di tahdzir oleh Imam Ahmad karena berpendapat
bahwa lafadh orang yang membaca Al-Qur’an adalah makhluq), Ibrahim bin
Al-Mundzir Al-Hizami, Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani, Ahmad bin Muhammad
Al-Azraqi, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh ilmu yang lainnya. Dari
murid-murid beliau di Baghdad, yang paling terkenal sangat mengagumi beliau
adalah Imam Ahmad bin Hanbal atau terkenal dengan gelar Imam Hanbali.
Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Mizzi dengan sanadnya bersambung kepada Imam
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (putra Imam Hanbali). Beliau menceritakan: “Aku
pernah bertanya kepada ayahku: Maka ayahku menjawab: .”
Diriwayatkan pula bahwa Sulaiman bin Al-Asy’ats menyatakan: “Aku melihat
bahwa Ahmad bin Hanbal tidaklah condong kepada seorangpun seperti condongnya
kepada As-Syafi`ie.” Al-Maimuni meriwayatkan bahwa Imam Hanbali menyatakan:
“Aku tidak pernah meninggalkan doa kepada Allah di sepertiga terakhir malam
untuk enam orang. Salah satunya ialah untuk As-Syafi`ie.”
Diriwayatkan pula oleh Imam Shalih bin Ahmad bin Hanbal (putra Imam
Hanbali): “Pernah ayahku berjalan di samping keledai yang ditumpangi Imam
Syafi`ie untuk bertanya-tanya ilmu kepadanya. Maka melihat demikian, Yahya bin
Ma’ien sahabat ayahku mengirim orang untuk menegur beliau. Yahya menyatakan
kepadanya: . Maka ayah pun menyatakan kepada Yahya: .”
Di samping Imam Hanbali yang sangat mengaguminya, juga diriwayatkan oleh
Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Tarikh nya dengan sanadnya dari Abu Tsaur. Dia
menceritakan: “Abdurrahman bin Mahdi pernah menulis surat kepada As-Syafi`ie,
dan waktu itu As-Syafi`ie masih muda belia. Dalam surat itu Abdurrahman meminta
kepadanya untuk menuliskan untuknya sebuah kitab yang terdapat padanya
makna-makna Al Qur’an, dan juga mengumpulkan berbagai macam tingkatan hadits,
keterangan tentang kedudukan ijma’ (kesepakatan Ulama’) sebagai hujjah / dalil,
keterangan hukum yang nasikh (yakni hukum yang menghapus hukum lainnya) dan
hukum yang mansukh (yakni hukum yang telah dihapus oleh hukum yang lainnya),
baik yang ada di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Maka As-Syafi`ie muda
menuliskan untuknya kitab Ar-Risalah dan kemudian dikirimkan kepada Abdurrahman
bin Mahdi.
Begitu membaca kitab Ar-Risalah ini, Abdurrahman menjadi sangat kagum dan
sangat senang kepada As-Syafi`ie sehingga beliau menyatakan: “Setiap aku
shalat, aku selalu mendoakan As-Syafi`ie.” Kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi`ie
akhirnya menjadi kitab rujukan utama bagi para Ulama’ dalam ilmu Ushul Fiqih
sampai hari ini. Pujian para Ulama’ dan kekaguman mereka bukan saja datang dari
orang-orang yang seangkatan dengan beliau dalam ilmu, akan tetapi datang pula
pujian itu dari para Ulama’ yang menjadi guru beliau.
Antara lain ialah Sufyan bin Uyainah, salah seorang guru beliau yang sangat
dikaguminya. Sebaliknya Sufyan pun sangat mengagumi Imam As-Syafi`ie, sampai
diceritakan oleh Suwaid bin Saied sebagai berikut: “Aku pernah duduk di majelis
ilmunya Sufyan bin Uyainah.
As-Syafi`ie datang ke majelis itu, masuk sembari mengucapkan salam dan
langsung duduk untuk mendengarkan Sufyan yang sedang menyampaikan ilmu. Waktu
itu Sufyan sedang membaca sebuah hadits yang sangat menyentuh hati. Betapa
lembutnya hati beliau saat mendengar hadits itu menyebabkan As-Syafi`ie
mendadak pingsan.
Orang-orang di majelis itu menyangka bahwa As-Syafi`ie meninggal dunia
sehingga peristiwa ini dilaporkan kepada Sufyan: . Maka Sufyan pun
menyatakan: .”
Demikian pujian para Ulama’ yang sebagiannya kami nukilkan dalam tulisan ini
untuk menggambarkan kepada para pembaca sekalian betapa beliau sangat tinggi
kedudukannya di kalangan para Ulama yang sejaman dengannya. Apalagi tentunya para
ulama’ yang sesudahnya.
Imam As-Syafi`ie tinggal di Baghdad hanya dua tahun. Setelah itu beliau
pindah ke Mesir dan tinggal di sana sampai beliau wafat pada th. 204 H dan usia
beliau ketika wafat 54 th. Beliau telah meninggalkan warisan yang tak ternilai,
yaitu ilmu yang beliau tulis di kitab Ar-Risalah dalam ilmu Ushul Fiqih. Di
samping itu beliau juga menulis kitab Musnad As-Syafi`ie , berupa kumpulan
hadits Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam yang diriwayatkan oleh
beliau; dan kitab Al-Um berupa kumpulan keterangan beliau dalam masalah fiqih.
Sebagaimana Al-Um , kumpulan riwayat keterangan Imam As Syafi`ie dalam fiqih
juga disusun oleh Al-Imam Al-Baihaqi dan diberi nama Ma’rifatul Aatsar was
Sunan . Al-Imam Abu Nu’aim Al-Asfahani membawakan beberapa riwayat nasehat dan
pernyataan Imam As-Syafi`ie dalam berbagai masalah yang menunjukkan pendirian
Imam As-Syafi`ie dalam memahami agama ini. Beberapa riwayat Abu Nu’aim tersebut
kami nukilkan sebagai berikut :
Imam As-Syafi`ie menyatakan: “Bila aku melihat Ahli Hadits, seakan aku
melihat seorang dari Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .”
(HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Al-Hilyah nya juz 9 hal. 109)
Ini menunjukkan betapa tinggi penghargaan beliau kepada para Ahli Hadits.
Imam As-Syafi`ie menyatakan: “Sungguh seandainya seseorang itu ditimpa
dengan berbagai amalan yang dilarang oleh Allah selain dosa syirik, lebih baik
baginya daripada dia mempelajari ilmu kalam.” (HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam
Al-Hilyah nya juz 9 hal. 111)
Beliau menyatakan juga: “Seandainya manusia itu mengerti bahaya yang ada
dalam Ilmu Kalam dan hawa nafsu, niscaya dia akan lari daripadanya seperti dia
lari dari macan.”
Ini menunjukkan betapa anti patinya beliau terhadap Ilmu Kalam, suatu ilmu
yang membahas perkara Tauhid dengan metode pembahasan ilmu filsafat.
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman bahwa dia menyatakan: Aku mendengar
As-Syafi`ie berkata:
“Barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, maka sungguh dia telah
kafir.” ((HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Al-Hilyah nya juz 9 hal. 113)
Diriwayatkan pula oleh Abu Nu’aim Al-Asfahani bahwa Al-Imam As-Syafi`ie
telah mengkafirkan seorang tokoh ahli Ilmu Kalam yang terkenal dengan nama Hafs
Al-Fardi, karena dia menyatakan di hadapan beliau bahwa Al-Qur’an itu adalah
makhluk. Demikian tegas Imam As-Syafi`ie dalam menilai mereka yang mengatakan
bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Dan memang para Ulama’ Ahlis Sunnah wal Jama’ah
telah sepakat untuk mengkafirkan siapa yang meyakini bahwa Al-Qur’an itu
makhluk.
Al-Imam Adz-Dzahabi meriwayatkan pula dengan sanadnya dari Al-Buwaithie yang
menyatakan: “Aku bertanya kepada As-Syafi`ie: Maka beliau pun
menjawabnya: . Akupun bertanya lagi kepada beliau: Maka beliau pun
menjawab: .”
Demikian Imam As-Syafi`i mengajarkan sikap terhadap Ahlil Bid’ah seperti
yang disebutkan contohnya dalam pernyataan beliau, yaitu orang-orang yang
mengikuti aliran Rafidlah yang di Indonesia sering dinamakan Syi’ah. Aliran
Syiah terkenal dengan sikap kebencian mereka kepada para Shahabat Nabi shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam , khususnya Abu Bakar dan Umar. Di samping Rafidlah,
masih ada aliran bid’ah lainnya seperti Qadariyah yaitu aliran pemahaman yang
menolak beriman kepada rukun iman yang keenam (yaitu keimanan kepada adanya
taqdir Allah Ta`ala). Juga aliran Murji’ah yang menyatakan bahwa iman itu hanya
keyakinan yang ada di hati dan amalan itu tidak termasuk dari iman. Murji’ah
juga menyatakan bahwa iman itu tidak bertambah dengan perbuatan ketaatan kepada
Allah dan tidak pula berkurang dengan kemaksiatan kepada Allah. Semua ini
adalah pemikiran sesat, yang menjadi alasan bagi Imam As-Syafi`ie untuk
melarang orang shalat di belakang imam yang berpandangan dengan salah satu dari
pemikiran-pemikiran sesat ini.
Imam As-Syafi`ie juga amat keras menganjurkan ummat Islam untuk jangan ber
taqlid (yakni mengikut dengan membabi buta) kepada seseorang pun sehingga
meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah ketika pendapat orang yang diikutinya itu
menyelisihi pendapat keduanya.
Hal ini dinyatakan oleh beliau dalam beberapa pesan sebagai berikut:
Al-Hafidh Abu Nu`aim Al-Asfahani meriwayatkan dalam Hilyah nya dengan sanad
yang shahih riwayat Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, katanya: “Ayahku telah
menceritakan kepadaku bahwa Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie berkata:.”
Demikianlah para Ulama’ bersikap tawadlu’ sebagai kepribadian utama mereka.
Sehingga tidak menjadi masalah bagi mereka bila guru mengambil manfaat dari
muridnya dan muridnya yang diambil manfaat oleh gurunya tidak pula kemudian
menjadi congkak dengannya. Tetap saja sang murid mengakui dan mengambil manfaat
dari gurunya, meskipun sang guru mengakui di depan umum tentang ketinggian ilmu
si murid. Guru-guru utama Imam Asy Syafi`ie, Imam Malik dan Imam Sufyan bin
Uyainah, dengan terang-terangan mengakui keutamaan ilmu As-Syafi`ie. Bahkan
Imam Sufyan bin Uyainah banyak bertanya kepada Imam Asy-Syafi`ie saat Imam
Syafi’ie ada di majelisnya. Padahal Imam Asy-Syafi`ie duduk di majelis itu
sebagai salah satu murid beliau, dan bersama para hadirin yang lainnya, mereka
selalu mengerumuni Imam Sufyan untuk menimba ilmu daripadanya. Tetapi meskipun
demikian, Imam Syafi`ie tidak terpengaruh oleh sanjungan gurunya. Beliau tetap
mendatangi majelis gurunya dan memuliakannya. Di samping itu, hal yang amat
penting pula dari pernyataan Imam Asy-Syafi`ie kepada Imam Ahmad bin Hanbal
tersebut di atas, menunjukkan kepada kita betapa kuatnya semangat beliau dalam
merujuk kepada hadits shahih untuk menjadi pegangan dalam bermadzhab, dari
manapun hadits shahih itu berasal.
Imam Asy-Syafi`ie menyatakan pula: “Semua hadits yang dari Nabi shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam maka itu adalah sebagai omonganku. Walaupun kalian
tidak mendengarnya dariku.”
Demikian beliau memberikan patokan kepada para murid beliau, bahwa hadits
shahih itu adalah dalil yang sah bagi segala pendapat dalam agama ini. Maka
pendapat dari siapapun bila menyelisihi hadits yang shahih, tentu tidak akan
bisa menggugurkan hadits shahih itu. Bahkan sebaliknya, pendapat yang
demikianlah yang harus digugurkan dengan adanya hadits shahih yang
menyelisihinya.
P e n u t u p :
Masih banyak mutiara hikmah yang ingin kami tuangkan dalam tulisan ini dari
peri hidup Imam Asy-Syafi`ie. Namun dalam kesempatan ini, rasanya tidak cukup
halaman yang tersedia untuk memuat segala kemilau mutiara hikmah peri hidup
beliau itu. Bahkan telah ditulis oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah wal Jamaah
kitab-kitab tebal yang berisi untaian mutiara hikmah peri hidup Imam besar ini.
Seperti Al-Imam Al-Baihaqi menulis kitab Manaqibus Syafi`ie , juga Ar-Razi
menulis kitab dengan judul yang sama. Kemudian Ibnu Abi Hatim menulis kitab
berjudul Aadaabus Syaafi’ie . Dan masih banyak lagi yang lainnya. Itu semua
menunjukkan kepada kita, betapa agungnya Imam besar ini di mata para Imam Ahlus
Sunnah wal Jama’ah. Semoga Allah Ta`ala menggabungkan kita di barisan mereka di
hari kiamat nanti. Amin ya Mujibas sa’ilin .
[Sumber: http://alghuroba.org/ / http://rohis.itsar.org/ ]
[Sumber: http://alghuroba.org/ / http://rohis.itsar.org/ ]
0 komentar:
Posting Komentar